Senin, 06 April 2009

DILEMA PEMERINTAH PADA KASUS SENORO






Usaha kerjasama di bidang Oil and Gas ini memiliki potensi nilai bisnis yang tinggi dan memberikan hubungan erat antara Pemerintah RI dengan Jepang mengingat Mitsubishi Corp sebagai pemenang dari “BEAUTY CONTEST” untuk mengelola lahan di Donggi-Senoro tersebut. Perlu diingat, bahwa BEAUTY CONTEST itu diselenggarakan oleh PT Pertamina Persero dengan Medco Energy. Sebagai tindak lanjut atas BEAUTY CONTEST tersebut, kemudian pemerintah menyepakati Gas Sale Agreement (GSA) yang ditandatangani 22 Januari 2009 silam.

Nilai Proyek Senoro
Ladang gas Senoro dan Matindok memang layak menjadi rebutan. Dalam siaran persnya Jumat (03/4) lalu, Humas PT Pertamina EP, M. Harun mengatakan hasil sementara pengujian awal sumur Matindok 2 (MTD-2) diperoleh 12 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari) pada jepitan 32/64 inchi. Sebelumnya, dari sumur MTD-1 didapatkan hasil sekitar 9 MMSCFD.

Sumur MTD-2 terletak 700 meter sebelah Barat Daya dari posisi permukaan sumur Eksplorasi MTD-1 atau 800 meter sebelah Selatan dari koordinat subsurface sumur eksplorasi MTD-1. Target reservoir pada pemboran sumur ini adalah batugamping Formasi Minahaki dan mencapai kedalaman akhir 2.357 meter.

Dari total komitmen pasokan sebesar 85 MMSCFD, akan dipenuhi dari Donggi sebesar 50 MMSCFD, Matindok 20 MMSCFD, dan Maleo Raja 15 MMSCFD. Pasokan ini diperkirakan akan mulai on stream pada tahun 2012-2013, untuk itu Pertamina EP akan menambah 2 sumur tambahan sumur MTD-3 dan 4 pada tahun 2010-2011.
Sumber: http://hukumonline.com/detail.asp?id=21649&cl=Berita

Timbul Perkara
Pada prosesnya, ternyata proses BEAUTY CONTEST yang memenangkan Mitsubishi Corp tersebut dinilai tidak adil dan memiliki indikasi adanya kecurangan.

Berdasarkan laporan berita yang diberitakan oleh hukumonline, permasalahan kasus tersebut adalah sebagai berikut:

Mitsubishi diduga menggunakan segala informasi milik Energi Utama. Informasi itu sebagai referensi untuk menetapkan biaya produksi dan biaya-biaya komponen harga barang dan jasa dalam tender proyek tersebut.

Padahal di bulan September 2006, Energi Utama telah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan pra-proyek. Mereka mengaku telah menggelontorkan biaya tidak sedikit, termasuk untuk penyelesaian analisis dampak lingkungan (amdal).

Puncaknya, pada 12 Desember 2006, Dow Jones Newswires melaporkan bahwa Mitsubishi telah ditunjuk untuk menjalankan proyek hilir LNG di Senoro–Matindok atau Donggi Senoro.

LNG Energi Utama sebagai salah satu peserta BEAUTY CONTEST untuk lahan di Donggi-Senoro tersebut mengemukakan kekecewaannya atas permasalahan ini.

Permasalahan Hukum Persaingan Usaha
LNG Energi Utama melaporkan temuan mereka yang sekaligus mereka nilai sebagai kerugian itu kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tanggal 28 Agustus 2008. Energi Utama memberikan laporannya dengan dasar dugaan pelanggaran Pasal 20 dan 21 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Mitsubishi.

UU No. 5/1999

Pasal 20, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 21, pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalani menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.


Penghentian Perkara oleh KPPU
Pada perkembangannya ke depan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kemudian menghentikan pemeriksaan kasus tersebut pada 7 Januari 2008. KPPU menilai laporan tidak jelas atau tidak lengkap. KPPU beralasan kelengkapan resume laporan yang dituduhkan PT LNG Energi Utama (pelapor) terhadap Mitsubishi Corporation.—pihak terlapor yang diduga melakukan kecurangan dalam proyek hilir di LNG Senoro—tidak terpenuhi. Uraian yang tidak terpenuhi itu berupa kerugian yang diderita Energi Utama sebagai akibat dari pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Mitsubishi.

LNG EU Kembali Melaporkan Kasus Senoro Kepada KPPU
Sebagaimana yang telah diberitakan oleh Hukumonline (3/3/09), pada akhir Januari 2009 lalu, LNG EU kembali melaporkan perkara ini kepada KPPU dengan menggunakan tuduhan pasal yang sama namun disertai dengan adanya bukti baru.

Energi mengajukan bukti baru, berupa pemberitaan soal penandatanganan Gas Sale Agreement (GSA) antara PT Donggi Senoro LNG (DSL) dengan PT Pertamina EP, dan kontrak GSA antara DSL dengan PT Pertamina HE Tomori dan PT Medco HE Tomori. Menurut kuasa hukum Energi Utama, HMBC Rikrik Rizkiyana, ada ketidakberesan proses kontraktual dari proyek LNG Senoro. Ketidakberesan itu diduga berasal dari kecurangan Mitsubishi untuk mendapatkan proyek ini.

Menunda Pengeluaran SAA

Menanggapi permasalahan hukum yang berpotensi konflik ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro memutuskan untuk menunda penerbitan Sales Appointment Agreement (SAA) dan izin konstruksi proyek kepada Pertamina, Medco, dan Mitsubishi. Penundaan itu lantaran adanya laporan dari Dirut Pertamina Karen Agustiawan yang menyatakan bahwa LNG Energi Utama memiliki perjanjian ekslusif (Exclusive Agreement).

“Mereka (LNG-EU) mengaku memegang Exclusive Agreement. Kalau kita kasih SAA kepada Pertamina, Medco, dan Mitsubishi, bisa-bisa BP Migas dituntut oleh mereka,” ujar Purnomo kemarin, Senin (16/3). Pernyataan Purnomo sedikit melegakan LNG Energi Utama, setidaknya sampai ada status hukum yang pasti terkait proyek tersebut. LNG Energi Utama sendiri sangat berharap agar pemerintah meninjau ulang Gas Sale Agreement (GSA) yang ditandatangani 22 Januari 2009 silam.

Potensi Merusakkan Hubungan Antar Pemerintah
Menanggapi permasalahan Senoro ini, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait masalah yang dihadapi Proyek Kilang Gas Alam Cair Donggi Senoro. Dubes Jepang meminta bantuan Presiden agar proyek yang melibatkan Mitsubishi Corporation itu bisa dilanjutkan.

Dalam surat tertanggal 19 Maret 2009, Dubes Jepang menyatakan, kegagalan proyek Donggi Senoro tidak hanya berdampak pada hubungan bisnis sektor energi Indonesia dan Jepang, tetapi juga pada keseluruhan kerja sama investasi kedua Negara.

Berbeda dengan Jepang dan Mitsubishi, kuasa hukum Energi Utama Rikrik Rizkiyana dalam jumpa pers yang diadakan hari Sabtu (04/4) di Jakarta mengatakan, pihaknya tidak akan melibatkan pemerintah Australia untuk mengintervensi penyelesaian kasus kilang gas LNG Senoro dan Matindok. “Kami memastikan pemerintah Australia tidak akan mengintervensi karena respek terhadap proses hukum di KPPU,” ujarnya.

Asia Pulse Pte.Ltd memberikan komentar atas permasalahan ini sebagi berikut:

“The Indonesian government should not let itself be dictated by Japan with regard to the liquefied natural gas (LNG) refinery project in the Senoro field in Southeast Sulawesi, an energy observer said on Wednesday.”

Tanggapan lain datang dari Pengamat Energi, Pri Agung Rakhmanto sebagaimana dilansir Asia Pulse Pte Ltd (02/04/09)

Energy affairs observer Pri Agung Rakhmanto said a letter sent by Japanese ambassador to Indonesia Kojiro Shiojiri on the slow progress in the Senoro refinery project was a form of intervention, although such a letter was normal in the energy business.

"This is because energy, economically and politically, is a strategic commodity for a country," he said.

He said the government should have the courage to take a firm decision with regard to the price and the designation of its gas production.


Hal senada juga disampaikan oleh Sofyano Zakaria, executive director dari the Public Policy Studies Center (Puskepi).

"It is inappropriate for the Japanese ambassador to intervene in the Senoro project because the project is a matter of business relations between state-owned oil company Pertamina, Medco and Mitsubishi," he said.

Dia berkata pemerintah harus lebih konsisten dalam menerapkan peraturan yang berlaku pada bidang Industri Oil and Gas. Menurut Wanandi pada kenyataannya, Pemerintah dapat mewajibkan Pertamina dan PT Medco Energi Internasional Tbk untuk menjual gas mereka kepada pasar lokal dan tidak untuk mengekspornya.

Menurut pendapat saya secara pribadi (terlepas dari institusi terkait tempat saya bekerja), tidak bisa juga pemerintah secara egois langsung memberikan kewajiban kepada Pertamina dan Medco untuk menjual gasnya untuk lokal saja dengan mengabaikan usaha kerja sama yang sudah berusaha untuk dibangun bersama dengan Pemerintah Jepang. Namun, Pemerintah RI tetap berkewajiban untuk menyelesaikan segala permasalahan hukum yang ada agar lebih memberikan kepastian secara hukum bahwa Indonesia menjanjikan kepastian hukum bagi para investor untuk menanam modal di negerinya. Jika memang Mitsubishi terbukti bersalah, maka kemukakanlah dengan seadil-adilnya dan dengan sangat meyakinkan bahwa Indonesia tidak bisa meneruskan perjanjian kerja sama yang memiliki potensi ketidakadilan di dalamnya dan Pemerintah Jepang harus menerima kenyataan tersebut bahwa Indonesia berusaha untuk memberikan keadilan atas permasalahan yang ada. Selain itu, tindakan intervensi yang demikian adanya oleh Pemerintah Jepang mungkin agak bersifat kurang pantas saja dengan memberikan ancaman, sebab, jika memang Mitsubishi tidak bersalah untuk apa Pemerintah Jepang perlu turun dengan memberikan surat pernyataan yang sifatnya mengancam keberlangsungan hubungan bisnis antara Pemerintah Indonesia dengan Jepang.

Sumber:
http://hukumonline.com/detail.asp?id=21467&cl=Berita
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21343&cl=Berita
http://hukumonline.com/detail.asp?id=21649&cl=Berita
http://www.downstreamtoday.com/news/article.aspx?a_id=15899

Tidak ada komentar:

Pre Order HTC DESIRE, HTC WILDFIRE, IPAD, dan IPOD

YANG MAU IPAD GRATIS - JOIN DI SITTI