Tampilkan postingan dengan label HUKUM (LAW). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM (LAW). Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Juni 2009

Ketidaktahuan Masyarakat Akan Hukum

Kesalahan Pemerintah Dalam Mengundangkan atau Masyarakatnya yang Tidak Perduli





Belum lama ini terdapat kasus menghebohkan mengenai penulisan keluhan terhadap pelayanan sebuah Rumah Sakit melalui internet yang berujung kepada penahanan. Permasalahan ini pun menjadi perhatian berbagai kalangan karena penulisan email mengenai keluhan melalui internet sudah menjadi hal yang umum sebelumnya dan tidak jarang HOAX yang bertebaran di itnernet mengenai sebuah produk juga sudah merupakan hal yang umum. Tapi berbeda pada kali ini justru orang yang mengeluh ditangkap bahkan ditahan dan diadili secara pidana. Menjadi perhatian lebih besar lagi ketika masyarakat menjadi prihatin karena si penulis keluhan menjadi harus mentelantarkan anak-anaknya akibat penulisan keluhan yang selama ini tidak menjadi masalah hingga sebelum terbitnya UU ITE.

Berikut ini adalah sebagian cuplikan pemberitaan kasus tersebut:





Selasa, 02/06/2009 17:45 WIB


Menulis di Internet Dipenjara Jerat Prita dengan UU ITE, Kejaksaan Bantah Terima SuapNovia Chandra Dewi - detikNews

-->Jakarta - Dikenakannya pasal UU Informasi dan Teknologi Informasi (ITE) kepada Prita Mulyasari (31) menimbulkan dugaan adanya praktik suap dalam kasus tersebut. Namun, Kejaksaan membantah keras tuduhan itu."Jangan asal tuduh, dibuktikan kalau memang ada dan dilaporkan," ucap Kapuspenkum Kejaksaan Agung, M Jasman Panjaitan, saat dihubungi Detikcom via telepon, Selasa (02/06/09). Jasman menjelaskan pasal UU ITE yang disangkakan terhadap ibu dua anak tadi sudah sesuai dengan pendapat jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, polisi hanya menuduh Prita melanggar pasal pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang, Banten."Dalam berkas yang dibuat penyidik Polri selain pencemaran nama baik ada juga pasal yang disangkakan mengenai pelanggaran ITE. Pelanggaran tersebut ancamannya ditahan 6 tahun atau denda sebesar 1 Milyar, dan itu sesuai dengan pendapat Jaksa penuntut umum," terangnya.Prita ditahan karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni lewat internet. Rencananya perempuan yang bekerja di bank swasta itu akan menjalani sidang pidana pada 4 Juni 2009.Kasus yang menimpa Prita ini berawal dari email yang dia kirim kepada teman-temannya seputar keluhannya terhadap RS Omni. Email tersebut kemudian menyebar ke publik lewat milis-milis.Dalam emailnya, Prita merasa dibohongi oleh diagnosa dokter RS Omni ketika dirawat di RS tersebut pada Agustus 2008. Dokter semua memvonis Prita menderita demam berdarah, namun kemudian menyatakan dia terkena virus udara. Tak hanya itu, dokter memberikan berbagai macam suntikan dengan dosis tinggi, sehingga Prita mengalami sesak nafas.Saat hendak pindah ke RS lainnya, Prita mengajukan komplain karena kesulitan mendapatkan hasil lab medis. Namun, keluhannya kepada RS Omni itu tidak pernah ditanggapi, sehingga dia mengungkapkan kronologi peristiwa yang menimpanya kepada teman-temannya melalui email dan berharap agar hanya dia saja yang mengalami hal serupa.Prita dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hukuman 6 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar mengancam Prita.(amd/irw)





Rabu, 03/06/2009 11:46 WIB


Menulis di Internet DipenjaraYLKI: Konsumen Harus Lebih Kritis Pilih Kata-kataKen Yunita - detikNews

-->Jakarta - Kasus Prita Mulyasari, yang ditahan karena dituduh mencemarkan nama baik RS Omni International, cukup mencengangkan banyak pihak. Konsumen yang merasa tidak puas dengan pelayanan suatu perusahaan pun tak ayal takut untuk bersuara. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) selaku lembaga yang konsern pada perlindungan konsumen tidak mengharapkan hal tersebut. Namun konsumen diharap bisa mengambil pelajaran dari kasus Prita. "Ketidakpahaman kita tentang hukum ternyata itu menjadi potensi dikriminalkan dan menjadi bumerang buat kita. Jadi mungkin kita harus lebih kritis untuk memilih kata-kata yang tidak menuduh atau judgement," kata Ketua YLKI Huzna Gustiana Zahir kepada detikcom, Rabu (3/6/2009). Huzna menyadari, seorang konsumen yang kecewa pada pelayanan suatu tempat memang terkadang emosional dan mengeluarkan kata-kata yang bersifat menuduh. Kata-kata semacam itu memang sudah lumrah digunakan untuk konsumen yang mengadu."Tapi ternyata kata-kata semacam itu bisa berbalik ke konsumen. Jadi sebaiknya kalau ingin komplain, tunjukkan fakta yang terjadi," kata Huzna. Huzna juga mengimbau, sebaiknya komplain terlebih dulu dialamatkan ke tempat yang membuat si konsumen kecewa. Namun jika tetap tidak direspons, konsumen dapat lari ke lembaga perlindungan konsumen atau suara pembaca. (ken/nrl)



Menanggapi hal tersebut, berikut ini adalah petikan wawancara dengan pihak YLKI




Selasa, 02/06/2009 16:32 WIB


Menulis di Internet DipenjaraYLKI: Kriminalisisi Konsumen KontraproduktifNala Edwin - detikNews
facebook

-->Jakarta - Gara-gara menulis keluhan tentang RS Omni International Alam Sutera lewat internet, Prita Mulyasari harus mendekam di penjara. Sebenarnya bagaimana hak Prita sebagai konsumen dan RS Omni sebagai penyedia jasa?Berikut petikan wawancara detikcom dengan pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Daryatmo, Selasa (2/6/2009) terkait kasus yang menimpa Prita:Prita ditahan karena menulis keluhan di internet tentang RS Omni Internasional, bagaimana tanggapan Anda?Sebagai konsumen ia memang memiliki hak untuk memberikan keluhan, hal ini diatur dalam UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jadi itu adalah haknya dan harus dihargai dan haknya itu dilindungi UU. Apa Prita mesti sampai ditahan di penjara?YLKI mengangap kriminalisisi terhadap konsumen itu kontraproduktif. Sebagai RS seharusnya masukan dari pengguna jasanya didengarkan karena hal ini tentunya berguna untuk meningkatkan pelayanan.Bagaimana dengan penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat Prita?Harus diingat UU ITE tidak berdiri sendiri. Seperti saya jelaskan tadi seharusnya penerapan UU itu juga mempertimbangkan hak-hak konsumen yang diatur di UU Perlindungan Konsumen.Seharusnya bagaimana cara perusahaan menangani keluhan dari konsumen?Dalam bisnis modern, pengaduan konsumen memberikan masukan positif. Namun dalam penyampaian pengaduan konsumen juga jangan menghakimi dan seharusnya memberikan fakta-fakta yang ada kemudian minta tanggapan dari produsennya seperti apa.Jika tidak ditanggapi?Kebanyakan konsumen telah mengadukan masalahnya ke produsen, tapi tidak dilayani. Karena itulah mereka mengadu ke kita dan menulis surat pembaca. Jadi seharusnya produsen menampung keluhan mereka karena mereka kan yang bisa memberikan penjelasan seperti apa.(nal/nrl)

PERKEMBANGAN PERKARA

Rabu, 03/06/2009 16:17 WIB

Kejagung 'Bebaskan' Prita Demi Kemanusiaan dan Keadilan

Indra Subagja - detikNews

-->Jakarta - Prita Mulyasari, ibu dua anak yang ditahan di LP Wanita Tangerang karena tuduhan pencemaran nama baik RS OMNI International akhirnya dikeluarkan dari penjara. Alasannya, demi kemanusiaan dan keadilan."Alasannya kemanusiaan dan keadilan sesuai pesan Jaksa Agung agar jaksa peka terhadap keadilan," kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung M Jasman Pandjaitan kepada detikcom, Rabu (3/6/2009). Status Prita sudah dialihkan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. Dengan begitu, Prita sudah bisa pulang ke rumah dan bertemu dua anaknya yang masih kecil-kecil. Prita, ibu dua balita, masuk sel per 13 Mei. Dia dimasukkan sel oleh jaksa setelah memasukkan UU ITE pasal 27 (3) yang ancaman hukumannya hingga 6 tahun. Dia menjadi tersangka pencemaran nama baik RS Omni International setelah menulis keluhannya lewat internet. (ken/iy)

MENCURI PERHATIAN PRESIDEN RI

Rabu, 03/06/2009 16:47 WIB

SBY Minta Penjelasan Kapolri dan Jaksa Agung Soal Prita

Luhur Hertanto - detikNews

-->Jakarta - Kasus hukum yang menimpa Prita Mulyasari juga menjadi perhatian Presiden SBY. Dia minta jajaran penegak hukum agar dalam menjalankan tugas juga memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.Demikian kata Jubir Kepresidenan Andi Mallarangeng usai rapat koordinasi bidang polkam, Rabu (3/6/2009). Rapat berlangsung di Kantor Presiden, Jakarta."Pertimbangkan pula berbagai segi lain dan UU sehingga antara penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat tumbuh bersama dan klop," ujar dia.Di dalam rapat koordinasi yang berakhir sore ini, Presiden SBY meminta penjelasan tentang proses hukum kasus Prita Mulyasari kepada Kapolri Jenderal Bambang HD. Juga kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji yang sedang berdinas di Kepri, melalui telepon.Secara bergantian Kapolri dan Jaksa Agung menjelaskan proses hukum serta UU apa saja yang digunakan. Kepada dua pejabat tinggi negara tersebut, Presiden SBY minta agar ada solusi yang terbaik."Presiden minta Jaksa Agung dan Kapolri melihat kasus ini dengan baik sehingga bisa mendapatkan solusi yang baik," tutur Mallarangeng.Mallarangeng menolak memaparkan materi yang dijelaskan Kapolri dan Jaksa Agung. Terutama tentang penggunaan UU ITE oleh pihak Kejaksaan yang justru dihindari oleh penyidik Polri."Kita tidak mau masuk dalam detail hukum," ujarnya.Status Prita sendiri saat ini adalah tahanan kota setelah dibebaskan dari penjara wanita di Tangerang. Dia akan kembali ke rumahnya di Serpong sore ini.(lh/nrl)

TANGGAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI PENERAPAN PASAL PENJERATAN PRITA

Rabu, 03/06/2009 14:22 WIB

Kasus Prita MulyasariKetua MK: UU ITE Sudah Benar

Didi Syafirdi - detikNews

-->Jakarta - Selain pasal KUHP, Prita Mulyasari juga dikenai pasal 27 (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bahkan karena pasal terakhir yang tiba-tiba dipakai jaksa inilah Prita mendekam di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei lalu. Pasal 27 (3) UU ITE punya cerita sendiri. Beberapa bulan lalu, sejumlah warga negara mengajukan judicial review terhadap pasal yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" itu.Pada 5 Mei lalu, MK menolak permohonan uji materi itu karena menganggap pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ketua MK Mahfud MD menyatakan, pihaknya menolak permohonan uji materi itu untuk mencegah adanya pencemaran nama baik melalui dunia maya. Keberadaan UU ITE dinilai sudah benar dan tidak menciptakan dua undang-undang. "UU ITE itu benar adanya, karena memang cara-cara mencemarkan nama baik atau memfitnah bisa dilakukan lewat alat-alat elektronik," ujarnya di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (3/6/2009). Menurut Mahfud, fitnah yang dilakukan melalu dunia maya memiliki efek yang lebih luas dibandingkan dengan pencemaran lewat pidato. "Sifatnya massif dan jauh lebih meluas dan sulit juga untuk dihapus dan terlanjur beredar," katanya. Keberadaan UU ITE lanjut, Mahfud, bukanlah duplikasi dari KUHP dan tidak menciptakan dua UU, hanya saja UU ITE syarat-syaratnya harus mengikuti UU KUHP. "Harus ada pengaduan, unsur-unsurnya sama," imbuhnya. Ditanya mengenai kasus Prita Mulyasari (32) yang dikenai Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena dianggap melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional, menurut Mahfud, tinggal dibuktikan di pengadilan. "Mungkin dia tidak mencemarkan nama baik, tapi emailnya mengandung pencemaran nama baik, lalu dikirim-kirim dan sifatnya menjadi umum. Tinggal pembuktian di pengadilan," jelasnya. Untuk penerapan kasus Prita, Mahfud enggan berkomentar. Dia hanya menegaskan bahwa UU ITE sudah dibuktikan konstitusional. "Sudah di uji di MK, UU ITE konstitusional," tandasnya. Kasus Prita menarik simpati karena pemenjaraan yang terjadi padanya. Uniknya, saat di polisi, Prita hanya dikenai pasal KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun. Ketika berkas sampai di jaksa, pasal 27 (3) UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara ditambahkan sehingga Prita ditahan.(did/nrl)

Sekilas pendapat penulis:

Melihat dari permasalahan di atas, tanpa kita harus membicarakan lebih jauh mengenai apa yang seharusnya dan semestinya dan seperti apa peraturannya, kita dan khususnya pemerintah sebagai pembuat peraturan perlu untuk merujuk kembali mengenai segala rumusan peraturan yang telah dituangkan di dalam undang-undang.


Coba kita lihat, mengapa ada masyarakat yang melanggar padahal undang-undangnya sudah diundangkan. Asas di dalam perudnang-undangan di Indonesia juga menyatakan bahwa masyarakat dianggap tahu setelah diundangkan. namun, seberapa jauhkah peranan pemerintah di dalam mempublikasikan produknya tersebut? cukupkah dengan media saja? Meskipun telah diundangkan dan telah diketahui, apakah masyarakat pada umumnya paham dengan konsekuensinya? Apakah sudah jelas mengenai apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan? Kalau tidak buat apa perlu jasa konsultan hukum? Semudah itukah peraturan yang tertulis di dalam undang-undang? yakinkah tidak dapat diinterpretasikan menjadi beberapa makna???


Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu disadari oleh pemerintah agar di masyarakat menjadi lebih tertib di dalam melakukan tindakan. Paling tidak, dengan mengetahui akibatnya, masyarakat akan memilih untuk mencari bagaimana saya memperjuangkan haknya sesuai dengan peraturan yang ada. Jika begini ceritanya, maka produk hukum akan selalu berbenturan permasalahan sosial dan apa yang dikehendaki oleh produk hukum tersebut justru menjadi tidak tercapai. Padahal pemerintah sendiri memiliki fakta mengenai berapa banyak dan seberapa besar tingkat pendidikan dari keseluruhan masyarakat Indonesia yang masih berada di bawah rata-rata. Namun, jika hukum hanya diterapkan secara sepihak dan terdapat pengampunan kepada yang lainnya jugalah tidak adil dan tidak konsekuen. Oleh karenanya perlu dibenahi kembali sosialisasi di dalam pengeluaran produk hukum yang berlaku untuk umum.


Tidak hanya UU ITE saja yang sesungguhnya bermasalah di dalam pengundangannya. Lihat saja masalah poligami saja, dimana UU Perkawinan padahal secara garis besar telah mengatur ketentuan tersebut. Sekalinya pun telah terjadi juga dengan paksa poligami tersebut, seorang istri pun masih memiliki hak untuk membatalkan pernikahan yang ada. Apakah masyarakat umum sadar akan hal tersebut? mereka yang di kampung-kampung sana (bicara dalam bahasa kasarnya) juga paham??? jelas tidak jika kita pernah menyaksikan tayangan di tv beberapa waktu yang lalu mengenai hebohnya masalah POLIGAMI yang kalau tidak salah SBY hingga turun tangan di dalam mensosialisasikan kembali UU Perkawinan tersebut agar masyarakat menjadi sadar khususnya ibu-ibu pada saat itu.

Sumber:



Kamis, 07 Mei 2009

PENGATURAN MEDIASI DI DALAM PENGADILAN NIAGA

PENGATURAN MEDIASI DI DALAM PENGADILAN NIAGA


A. Ketentuan Mediasi Secara Umum

Pengaturan di dalam PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi. Di dalam pembentukannya, PERMA No.1 Tahun 2008 menimbang sebagai berikut:

”Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri.”

Pasal 2 (3) PERMA No.1 Tahun 2008 menyatakan sebagai berikut:
Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.”

Meskipun demikian, di dalam PERMA tersebut diadakan pengecualian sebagaimana terlampir di dalam Pasal 4 sebagai berikut:

Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.”
Pengertian di sini bukan berarti larangan tetapi hanyalah tidak diharuskan.


B. Ketentuan Mediasi di Pengadilan Niaga

Peraturan yang secara khusus mengatur mengenai Pengadilan Niaga belum dikeluarkan dan masih sebatas wacana, namun dasar dilahirkannya Pengadilan Niaga adalah berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 1998.

Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Perpu No.1 Tahun 1998 yang telah dsahkan menjadi UU melalui UU No. 4 Tahun 1998 di dalam Pasal 280 ayat (2) menyatakan sebagai berikut:

Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang.), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.”

Mengenai hukum acara pada setiap perkara yang masuk dalam lingkup pengadilan niaga, runutan acaranya telah diatur tersendiri di dalam setiap UU yang mencakup permasalahan tersebut. Hingga saat ini, perkara lain yang masuk di dalam ruang lingkup Pengadilan Niaga adalah:

a. Merk;

b. Hak cipta;

c. Paten;

d. Transaksi elektronik.

Pengaturan mengenai mediasi di dalam perkara tersebut berdasarkan peraturan yang berlaku adalah sebagai berikut:

a. Merk – Ps. 84 UU No. 15 Tahun 2001

b. Hak cipta – Ps. 65 UU No.19 Tahun 2002

c. Paten – Ps. 124 UU No. 14 Tahun 2001

d. Transaksi elektronik – Pasal 42 UU No. 11 Tahun 2008

Semua peraturan di atas hanya mengatakan bahwa para pihak dapat menempuh jalur arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Dengan demikian, acara mediasi di dalam pengadilan niaga bukanlah suatu keharusan.

Di dalam UU No. 37 Tahun 2004 ada yang menyinggung tentang perdamaian sebagaimana tercantum di dalam Pasal 144 sebagai berikut:

Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.”

Berdasarkan pengertian ini, usaha perdamaian hanya merupakan hak dan bukan merupakan kewajiban dari hakim sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 130 HIR.


C. Menurut Keterangan Departemen HAKI

Berdasarkan hasil pembicaraan melalui telepon dengan Bu Nova bagian hukum dari Departemen HAKI, atas permasalahan ini beliau menyatakan sebagai berikut:

Meskipun di dalam UU Merk dan acara niaga lainnya tidak disebutkan mengenai keharusan melakukan mediasi, namun pada prakteknya dan sebagaimana yang selama ini telah saya alami, hakim akan tetap menawarkan perdamaian dengan melakukan mediasi sebagaimana tercantum di dalam Pasal 130 HIR kepada para pihak yang bersengketa hingga sebelum adanya putusan atas perkara tersebut. Hingga saat ini telah terdapat banyak perkara yang selesai pada tahap medasi tersebut termasuk di dalamnya masalah sengketa pendaftaran merk. Hanya saja, saya tidak bisa menyebutkan perkara tersebut para pihaknya antara siapa melawan siapa, namun pada kenyataannya hal itu bisa terjadi dan tidak jarang. Jika anda bertanya mengenai jalannya sidang menggunakan hukum acara khusus atau tidak, hal ini hanya terjadi ketika perkara masuk ke tahap acara tanya-jawab, di sinilah baru persidangan dimulai sesuai dengan ketentuan UU Merk. Oleh karenanya dapat diambil kesimpulan bahwa jalannya persidangan pun masih sesuai dan tidak berbeda jauh dengan hukum acara perdata yang telah ditentukan di dalam HIR.”

D. KESIMPULAN

Mediasi bukanlah suatu kewajiban di dalam hukum acara pengadilan niaga melainkan hanya merupakan suatu pilihan dari para pihak saja, sehingga dengan tidak dilakukannya mediasi tidak akan mengakibatkan batalnya putusan pengadilan atas perkara yang bersangkutan. Namun pada prakteknya hakim akan tetap menawarkan kepada para pihak untuk tetap melakukan mediasi hingga sebelum ada putusan atas perkara yang bersangkutan.

Minggu, 19 April 2009

DOWNLOAD PERATURAN MAHKAMAH AGUNG DAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG

DOWNLOAD


PERMA


2000

2001

2002

2003

  • PERMA No.1 Tahun 2003 -
  • PERMA No.2 Tahun 2003
  • PERMA No.3 Tahun 2003
  • PERMA No.4 Tahun 2003
  • PERMA No.5 Tahun 2003
  • PERMA No.6 Tahun 2003
  • PERMA No.7 Tahun 2003
  • PERMA No.8 Tahun 2003

2004

2005

2006

2007
  • PERMA No.1 Tahun 2007 - Pengadilan Periklanan (click here)
  • PERMA No.2 Tahun 2007
  • PERMA No.3 Tahun 2007
  • PERMA No.4 Tahun 2007
  • PERMA No.5 Tahun 2007
  • PERMA No.6 Tahun 2007
  • PERMA No.7 Tahun 2007
  • PERMA No.8 Tahun 2007
2008

  • PERMA No.1 Tahun 2008 - Mediasi (click here)
  • PERMA No.2 Tahun 2008 - Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (click here)
  • PERMA No.3 Tahun 2008
  • PERMA No.4 Tahun 2008
  • PERMA No.5 Tahun 2008
  • PERMA No.6 Tahun 2008
  • PERMA No.7 Tahun 2008
  • PERMA No.8 Tahun 2008 - (click here)




SEMA

2000

  • SEMA No.1 Tahun 2000
  • SEMA No.2 Tahun 2000 - Biaya Perkara (click here)
  • SEMA No.3 Tahun 2000
  • SEMA No.4 Tahun 2000
  • SEMA No.5 Tahun 2000
  • SEMA No.6 Tahun 2000

2003

  • SEMA No.1 Tahun 2003 - Mutasi Hakim (click here)
  • SEMA No.2 Tahun 2003
  • SEMA No.3 Tahun 2003
  • SEMA No.4 Tahun 2003
  • SEMA No.5 Tahun 2003
  • SEMA No.6 Tahun 2003

2007
  • SEMA No.1 Tahun 2007 - Petunjuk Pengambilan Sumpah Advokat (click here)
  • SEMA No.2 Tahun 2007
  • SEMA No.3 Tahun 2007
  • SEMA No.4 Tahun 2007
  • SEMA No.5 Tahun 2007
  • SEMA No.6 Tahun 2007
2008
  • SEMA No.1 Tahun 2008
  • SEMA No.2 Tahun 2008
  • SEMA No.3 Tahun 2008 - Usul Promosi dan Mutasi Hakim dan Panitera (click here)
  • SEMA No.4 Tahun 2008 - Pemungutan Biaya Perkara (click here)
  • SEMA No.5 Tahun 2008
  • SEMA No.6 Tahun 2008
  • SEMA No.7 Tahun 2008 - Sita Atas Rekening Giro (click here)
  • SEMA No.8 Tahun 2008
  • SEMA No.9 Tahun 2008

Senin, 06 April 2009

DILEMA PEMERINTAH PADA KASUS SENORO






Usaha kerjasama di bidang Oil and Gas ini memiliki potensi nilai bisnis yang tinggi dan memberikan hubungan erat antara Pemerintah RI dengan Jepang mengingat Mitsubishi Corp sebagai pemenang dari “BEAUTY CONTEST” untuk mengelola lahan di Donggi-Senoro tersebut. Perlu diingat, bahwa BEAUTY CONTEST itu diselenggarakan oleh PT Pertamina Persero dengan Medco Energy. Sebagai tindak lanjut atas BEAUTY CONTEST tersebut, kemudian pemerintah menyepakati Gas Sale Agreement (GSA) yang ditandatangani 22 Januari 2009 silam.

Nilai Proyek Senoro
Ladang gas Senoro dan Matindok memang layak menjadi rebutan. Dalam siaran persnya Jumat (03/4) lalu, Humas PT Pertamina EP, M. Harun mengatakan hasil sementara pengujian awal sumur Matindok 2 (MTD-2) diperoleh 12 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari) pada jepitan 32/64 inchi. Sebelumnya, dari sumur MTD-1 didapatkan hasil sekitar 9 MMSCFD.

Sumur MTD-2 terletak 700 meter sebelah Barat Daya dari posisi permukaan sumur Eksplorasi MTD-1 atau 800 meter sebelah Selatan dari koordinat subsurface sumur eksplorasi MTD-1. Target reservoir pada pemboran sumur ini adalah batugamping Formasi Minahaki dan mencapai kedalaman akhir 2.357 meter.

Dari total komitmen pasokan sebesar 85 MMSCFD, akan dipenuhi dari Donggi sebesar 50 MMSCFD, Matindok 20 MMSCFD, dan Maleo Raja 15 MMSCFD. Pasokan ini diperkirakan akan mulai on stream pada tahun 2012-2013, untuk itu Pertamina EP akan menambah 2 sumur tambahan sumur MTD-3 dan 4 pada tahun 2010-2011.
Sumber: http://hukumonline.com/detail.asp?id=21649&cl=Berita

Timbul Perkara
Pada prosesnya, ternyata proses BEAUTY CONTEST yang memenangkan Mitsubishi Corp tersebut dinilai tidak adil dan memiliki indikasi adanya kecurangan.

Berdasarkan laporan berita yang diberitakan oleh hukumonline, permasalahan kasus tersebut adalah sebagai berikut:

Mitsubishi diduga menggunakan segala informasi milik Energi Utama. Informasi itu sebagai referensi untuk menetapkan biaya produksi dan biaya-biaya komponen harga barang dan jasa dalam tender proyek tersebut.

Padahal di bulan September 2006, Energi Utama telah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan pra-proyek. Mereka mengaku telah menggelontorkan biaya tidak sedikit, termasuk untuk penyelesaian analisis dampak lingkungan (amdal).

Puncaknya, pada 12 Desember 2006, Dow Jones Newswires melaporkan bahwa Mitsubishi telah ditunjuk untuk menjalankan proyek hilir LNG di Senoro–Matindok atau Donggi Senoro.

LNG Energi Utama sebagai salah satu peserta BEAUTY CONTEST untuk lahan di Donggi-Senoro tersebut mengemukakan kekecewaannya atas permasalahan ini.

Permasalahan Hukum Persaingan Usaha
LNG Energi Utama melaporkan temuan mereka yang sekaligus mereka nilai sebagai kerugian itu kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tanggal 28 Agustus 2008. Energi Utama memberikan laporannya dengan dasar dugaan pelanggaran Pasal 20 dan 21 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Mitsubishi.

UU No. 5/1999

Pasal 20, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 21, pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalani menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.


Penghentian Perkara oleh KPPU
Pada perkembangannya ke depan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kemudian menghentikan pemeriksaan kasus tersebut pada 7 Januari 2008. KPPU menilai laporan tidak jelas atau tidak lengkap. KPPU beralasan kelengkapan resume laporan yang dituduhkan PT LNG Energi Utama (pelapor) terhadap Mitsubishi Corporation.—pihak terlapor yang diduga melakukan kecurangan dalam proyek hilir di LNG Senoro—tidak terpenuhi. Uraian yang tidak terpenuhi itu berupa kerugian yang diderita Energi Utama sebagai akibat dari pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Mitsubishi.

LNG EU Kembali Melaporkan Kasus Senoro Kepada KPPU
Sebagaimana yang telah diberitakan oleh Hukumonline (3/3/09), pada akhir Januari 2009 lalu, LNG EU kembali melaporkan perkara ini kepada KPPU dengan menggunakan tuduhan pasal yang sama namun disertai dengan adanya bukti baru.

Energi mengajukan bukti baru, berupa pemberitaan soal penandatanganan Gas Sale Agreement (GSA) antara PT Donggi Senoro LNG (DSL) dengan PT Pertamina EP, dan kontrak GSA antara DSL dengan PT Pertamina HE Tomori dan PT Medco HE Tomori. Menurut kuasa hukum Energi Utama, HMBC Rikrik Rizkiyana, ada ketidakberesan proses kontraktual dari proyek LNG Senoro. Ketidakberesan itu diduga berasal dari kecurangan Mitsubishi untuk mendapatkan proyek ini.

Menunda Pengeluaran SAA

Menanggapi permasalahan hukum yang berpotensi konflik ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro memutuskan untuk menunda penerbitan Sales Appointment Agreement (SAA) dan izin konstruksi proyek kepada Pertamina, Medco, dan Mitsubishi. Penundaan itu lantaran adanya laporan dari Dirut Pertamina Karen Agustiawan yang menyatakan bahwa LNG Energi Utama memiliki perjanjian ekslusif (Exclusive Agreement).

“Mereka (LNG-EU) mengaku memegang Exclusive Agreement. Kalau kita kasih SAA kepada Pertamina, Medco, dan Mitsubishi, bisa-bisa BP Migas dituntut oleh mereka,” ujar Purnomo kemarin, Senin (16/3). Pernyataan Purnomo sedikit melegakan LNG Energi Utama, setidaknya sampai ada status hukum yang pasti terkait proyek tersebut. LNG Energi Utama sendiri sangat berharap agar pemerintah meninjau ulang Gas Sale Agreement (GSA) yang ditandatangani 22 Januari 2009 silam.

Potensi Merusakkan Hubungan Antar Pemerintah
Menanggapi permasalahan Senoro ini, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait masalah yang dihadapi Proyek Kilang Gas Alam Cair Donggi Senoro. Dubes Jepang meminta bantuan Presiden agar proyek yang melibatkan Mitsubishi Corporation itu bisa dilanjutkan.

Dalam surat tertanggal 19 Maret 2009, Dubes Jepang menyatakan, kegagalan proyek Donggi Senoro tidak hanya berdampak pada hubungan bisnis sektor energi Indonesia dan Jepang, tetapi juga pada keseluruhan kerja sama investasi kedua Negara.

Berbeda dengan Jepang dan Mitsubishi, kuasa hukum Energi Utama Rikrik Rizkiyana dalam jumpa pers yang diadakan hari Sabtu (04/4) di Jakarta mengatakan, pihaknya tidak akan melibatkan pemerintah Australia untuk mengintervensi penyelesaian kasus kilang gas LNG Senoro dan Matindok. “Kami memastikan pemerintah Australia tidak akan mengintervensi karena respek terhadap proses hukum di KPPU,” ujarnya.

Asia Pulse Pte.Ltd memberikan komentar atas permasalahan ini sebagi berikut:

“The Indonesian government should not let itself be dictated by Japan with regard to the liquefied natural gas (LNG) refinery project in the Senoro field in Southeast Sulawesi, an energy observer said on Wednesday.”

Tanggapan lain datang dari Pengamat Energi, Pri Agung Rakhmanto sebagaimana dilansir Asia Pulse Pte Ltd (02/04/09)

Energy affairs observer Pri Agung Rakhmanto said a letter sent by Japanese ambassador to Indonesia Kojiro Shiojiri on the slow progress in the Senoro refinery project was a form of intervention, although such a letter was normal in the energy business.

"This is because energy, economically and politically, is a strategic commodity for a country," he said.

He said the government should have the courage to take a firm decision with regard to the price and the designation of its gas production.


Hal senada juga disampaikan oleh Sofyano Zakaria, executive director dari the Public Policy Studies Center (Puskepi).

"It is inappropriate for the Japanese ambassador to intervene in the Senoro project because the project is a matter of business relations between state-owned oil company Pertamina, Medco and Mitsubishi," he said.

Dia berkata pemerintah harus lebih konsisten dalam menerapkan peraturan yang berlaku pada bidang Industri Oil and Gas. Menurut Wanandi pada kenyataannya, Pemerintah dapat mewajibkan Pertamina dan PT Medco Energi Internasional Tbk untuk menjual gas mereka kepada pasar lokal dan tidak untuk mengekspornya.

Menurut pendapat saya secara pribadi (terlepas dari institusi terkait tempat saya bekerja), tidak bisa juga pemerintah secara egois langsung memberikan kewajiban kepada Pertamina dan Medco untuk menjual gasnya untuk lokal saja dengan mengabaikan usaha kerja sama yang sudah berusaha untuk dibangun bersama dengan Pemerintah Jepang. Namun, Pemerintah RI tetap berkewajiban untuk menyelesaikan segala permasalahan hukum yang ada agar lebih memberikan kepastian secara hukum bahwa Indonesia menjanjikan kepastian hukum bagi para investor untuk menanam modal di negerinya. Jika memang Mitsubishi terbukti bersalah, maka kemukakanlah dengan seadil-adilnya dan dengan sangat meyakinkan bahwa Indonesia tidak bisa meneruskan perjanjian kerja sama yang memiliki potensi ketidakadilan di dalamnya dan Pemerintah Jepang harus menerima kenyataan tersebut bahwa Indonesia berusaha untuk memberikan keadilan atas permasalahan yang ada. Selain itu, tindakan intervensi yang demikian adanya oleh Pemerintah Jepang mungkin agak bersifat kurang pantas saja dengan memberikan ancaman, sebab, jika memang Mitsubishi tidak bersalah untuk apa Pemerintah Jepang perlu turun dengan memberikan surat pernyataan yang sifatnya mengancam keberlangsungan hubungan bisnis antara Pemerintah Indonesia dengan Jepang.

Sumber:
http://hukumonline.com/detail.asp?id=21467&cl=Berita
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21343&cl=Berita
http://hukumonline.com/detail.asp?id=21649&cl=Berita
http://www.downstreamtoday.com/news/article.aspx?a_id=15899

Kamis, 02 April 2009

Pengadilan Tata Usaha Negara

A. Pengantar

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.

Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.

B. Peraturan Terkait

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN);

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.35/1999 dan kemudian dirubah lagi oleh UU No.4 / 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman);

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA);

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.8/2004 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum);

A. Kajian Hukum

1. LEGAL STANDING PARA PIHAK

Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menyatakan bahwa:

”Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa para pihak yang bersengketa adalah antara orang perorangan atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang menjadi obyek sengketa.

Selain itu, berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, alasan - alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang menjadi obyek sengketa adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, agar setiap pihak yang merasa kepentingannya dirugikan dapat memiliki hak untuk menggugat (Legal Standing), maka harus memenuhi unsur – unsur sebagai berikut:

1. Orang atau badan hukum perdata

2. Kepentingannya dirugikan

3. Karena dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara

4. Bertujuan untuk menyatakan batal atau tidak sahnya Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan kerugian tersebut.

2. OBYEK TATA USAHA NEGARA

Pasal 53 UU PTUN menyatakan bahwa yang menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sementara Pasal 1 ayat 3 UU PTUN menyatakan KTUN merupakan penetapan tertulis dari Pejabat Pemerintah yang menyangkut hal atau obyek tertentu, dengan subjek keputusan yang jelas dan bukan ditujukan untuk umum, serta sudah dapat menimbulkan akibat hukum. Surat keputusan, surat biasa, memo dan surat sakti atau referensi, yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut dapat digugat dalam PTUN. Namun demikian, dalam UU 9/2004 diperjelas kembali jenis-jenis KTUN yang tidak dapat di gugat dalam PTUN yakni:

1. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata misalkan masalah jual beli antara instansi pemerintah dengan perseorangan atau badan hukum yang didasarkan hukum perdata.

2. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum misalkan peraturan hukum berisi norma-norma yang mengikat semua orang.

3. KTUN yang masih memerlukan persetujuan misalkan keputusan yang masih harus disetujui oleh instansi lain.

4. KTUN berdasarkan ketentuan KUHP.

5. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indoensia

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun daerah mengenai hasil pemilihan umum.

3. PROSEDUR dan TAHAPAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

I. Melalui Upaya Administrasi:

1. Definisi

Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).

2. Dasar Hukum

Di dalam UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 diatur dalam Pasal 48, yang berbunyi:

(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.

(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

3. Bentuk Upaya Administrasi serta cara penilaian:

Berdasarkan penjelasan Pasal 48 UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, disebutkan adanya dua bentuk upaya administrasi, yaitu:

(1) Banding administratif

Jika seseorang atau badan hukum perdata tidak puas dengan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat melakukan upaya administrasi. Prosedur upaya administrasi tersebut harus dilaksanakan di dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam hal penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan ”Banding Administrasi”.

Contoh banding administratif antara lain:

- Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan "Regeling van het beroep in belastings zaken", Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

- Keputusan Panitia Penyelesaian perselisihan Perburuhan Pusat Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Keputusan Gubemur berdasarkan pasal10 Ayat (2) Undang-undang Gangguan Staatsblad 1926 No. 226.

(2) Keberatan

Adalah suatu prosedur penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan tersebut.

Contoh:

- Pasal 27 UU No.9/1994 tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Perpajakan.

Prosedurnya dilakukan dengan penilaian secara lengkap oleh instansi yang mengurus, Lengkap di sini berarti dinilai dari segi hukum dan dari kebijaksanaan, sedangkan penilaian di Pengadilan hanya dari segi hukum saja.

i. Cara Untuk Membedakan Suatu Sengketa Harus Diselesaikan Melalui Banding Administratif atau Keberatan

Untuk dapat membedakannya, maka dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelesaikannya. Atas hal ini terbagi atas dua kemungkinan, yaitu:

1. Banding Administratif, apabila diselesaikan oleh instansi atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut atau instansi yang lainnya dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.

2. Keberatan, apabila diselesaikan oleh instansi atau pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.

ii. Upaya Hukum Atas Upaya Hukum Administrasi dan Keberatan

Pada Penjelasan Pasal 48 Ayat (2) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, dinyatakan bahwa:

“Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan”.

Upaya yang dapat ditempuh tersebut antara lain:

a. Setelah upaya Banding administratif, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan Tingkat I/pertama (Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).

b. Setelah melalui upaya Keberatan, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

iii. Sisi Positif dan Negatif Atas Lembaga Upaya Administratif'

- Sisi positif lembaga upaya administratif adalah:

Menilai lengkap suatu keputusan, baik dari aspek legalitas (rechtmatigheid) maupun aspek opportunitas (doelmatigheid), sehingga para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah seperti halnya di Pengadilan, tapi dengan pendekatan musyawarah.

- Sisi negatif lembaga upaya administratif adalah:

Permasalahan dapat saja terjadi pada tingkat obyektivitas penilaian. Hal ini karena badan Tata Usaha Negara yang menerbitkan surat Keputusan bisa saja terkait kepada kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung kepada Keputusan yang dikeluarkannya tersebut.

Bergesernya kedudukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjadi instansi pertama terhadap sengketa yang menempuh banding administratif, dapat mengakibatkan:

- Pencari keadilan akan kehilangan satu tingkatan atau kesempatan memperoleh saluran Peradilan Administrasi;

- Ada kemungkinan sebagian besar sengketa administrasi akan lebih banyak mengalir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

iv. Skema Proses Penyelesaian Upaya Administrasi

4.


II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)

Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:

· Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.

· Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.


HAK PENGGUGAT:

1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. (pasal 53)

2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)

3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)

4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).

5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).

6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)

7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)

8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)

9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)

10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)

11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)

12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)

13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)

14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)

15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)

16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)

17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN PENGGUGAT:


Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)


HAK TERGUGAT:

1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)

2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)

3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)

4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)

5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)

6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)

7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)

8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)

9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)

10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)

11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)


KEWAJIBAN TERGUGAT:

1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):


a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau


b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;


c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3


2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1)


3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)


4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)



4. PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN

UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan Perkara Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang akan mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pokok-pokok yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:


1. Tempat Mengajukan Gugatan

Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya, kemudian didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 54.


Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat


Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara


Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.


Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat


Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.


Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.


2. Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara

Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan apakah secara formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 UU No.5 tahun 1986, apabila ada kekuranglengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat menyarankan kepada Penggugat atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30 hari baik terhadap Gugatan yang sudah lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir biaya panjer ongkos perkara yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain:


- Biaya Kepaniteraan

- Biaya Materai

- Biaya Saksi

- Biaya Saksi Ahli

- Biaya Alih Bahasa

- Biaya Pemeriksaan Setempat

- Biaya lain untuk Penebusan Perkara


Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Sub bagian Kepaniteraan Muda Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut.


Atas dasar SKUM tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir (dibagian Kepaniteraan Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan, kwitansi pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian didaftarkan didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.


Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian dilengkapi dengan formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan kembali kepada Panitera dengan buku ekspedisi penyerahan berkas.


Selanjutnya berkas perkara gugatan tersebut oleh Panitera diteruskan / diserahkan kepada Ketua Pengadilan untuk dilakukan Penelitian terhadap Gugatan tersebut, yaitu dalam proses dismissal ataupun apakah ada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, beracara cepat maupun ber-acara Cuma-Cuma.



5. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN

Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus melalui beberapa tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan yang terbuka untuk umum. Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada 3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat dari tahap-tahap materi gugatan yang diperiksa ada 4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:


Tahap I

Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang ditugaskan oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut


Tahap II

Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua memeriksa gugatan tersebut antara lain:


a. Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal. Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan Ketua dapat mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat dismissal, makaperkara tersebut dapat diperiksa dengan acara biasa dan dapat pula ditunjuk Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.


b. Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat mengeluarkan penetapan.


c. Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma dan mengeluarkan Penetapan


d. Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada permohonan untuk diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.


e. Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa dengan acara biasa dan sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.


Tahap III

Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.


Tahap IV

Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis menetapkan untuk Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan.yang terbuka untuk umum.



6. PENCABUTAN GUGATAN DI PTUN

Terhadap gugatan yang sudah didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan sudah membayar serta mendapatkan nomor register masih dapat dicabut kembali oleh Penggugat atau kuasanya.


Ketentuan yang mengatur tentang pencabutan gugatan tersebut adalah pasal 76 UU PTUN, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:


Ayat (1)


Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban


Ayat (2)


Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu pencabutan oleh akan dikabulkan oleh Pengadilan hanya apabila disetujui Tergugat.


Disamping ketentuan diatas, ternyata dalam praktek dapat terjadi yaitu ”Pencabutan Gugatan” disebabkan karena antara pihak-pihak telah terjadi ”perdamaian diluar sidang”. Terkait dengan dikabulkannya permohonan pencabutan gugatan, meskipun tidak diatur secara jelas oleh Pasal 76 UU PTUN, namun dalam prakteknya telah ditempuh cara-cara sebagai berikut:


1. Permohonan pencabutan gugatan tersebut agar dibuat secara tertulis ditujukan kepada Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan


2. Untuk adanya kepastian hukum maka dikabulkannya permohonan pencabutan gugatan tersebut dibuat dalam bentuk Penetapan


3. Dalam hal gugatan tersebut telah dikeluarkan Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara maupun oleh Majelis Hakim, maka mengabulkan permohonan pencabutan gugatan tersebut dibuat Penetapan


4. Penetapan yang berisi mengabulkan permohonan pencabutan gugatan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dibuat berita acara.



7. INTERVENSI DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Intervensi didalam Undang-undang No.5 tahun 1986 jo Undang-undang No.9 tahun 2004 diatur didalam Pasal 83, yaitu sebagai berikut:


Ayat (1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:


a. Pihak yang membela sengketa haknya atau


b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.


Ayat (2). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara siding.


Ayat (3). Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.


Bunyi penjelasan pasal 83 Undang-undang No.5 tahun 1986 adalah sebagai berikut:

Ayat (1-2). Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata yang berada diluar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.

Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:


1. Pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan.


Untuk itu ia harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya.


Putusan sela pengadilan atas permohonan tersebut dimasukkan dalam berita acara siding. Apabila permohonan itu dikabulkan, ia dipihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut sebagai Penggugat Intervensi.

Apabila permohonan itu tidak dikabulkan, maka terhadap Putusan Sela Pengadilan itu tidak dapat dimohonkan banding.


Sudah barang tentu pihak ketiga tersebut masih dapat mengajukan gugatan baru diluar proses yang sedang berjalan asalkan ia dapat menunjukan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan gugatan itu dan gugatannya memenuhi syarat.


2. Ada kalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan itu karena permintaan salah satu pihak (Penggugat atau Tergugat). Disini pihak yang memohon agar pihak ke-III selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya.
3. Masuknya pihak ke-III ke dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu.


Ayat (3) cukup jelas


Dari ketentuan diatas didalam prakteknya ternyata terdapat hal-hal yang tidak jelas antara lain:

1. Pada ketentuan pasal 83 ayat (1) yaitu kata-kata “selama pemeriksaan berlangsung” kapan yang dimaksud dengan selama pemeriksaan berlangsung tersebut.


“Selama Pemeriksaan Berlangsung” Undang-undang tidak menjelaskan, sementara itu dalam proses berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal beragam pemeriksaan sehubungan dengan istilah tersebut lalu kapan pihak ke-III dapat masuk dalam perkara ?


Menurut Indroharto “Selama Pemeriksaan Berlangsung” adalah selama pemeriksaan persiapan, alasannya kalau sudah masuk pemeriksaan perkara, dengan masuknya intervensi (khususnya tussenkomst), maka pemeriksaan akan mundur kembali.


Jadi setelah pemeriksaan persiapan maka sebaiknya permohonan intervensi ditolak.


Berdasarkan SEMA No.222/Td.TUN/X/1994 ditentukan bahwa permohonan Intervensi selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan saksi-saksi, pendapat ini dikemukakan dengan alasan menghindari pemeriksaan persiapan yang diulang kembali.


Namun demikian dalam praktek ada pendapat bahwa kalau mengurangi maksud pasal 83, maka sebaiknya pendapat Indroharto dan SEMA patut dicermati kembali. Karena kemungkinan pihak ke-III tipis sekali mengetahui kepentingannya sampai dengan pemeriksaan persiapan yang tertutup, kecuali Pejabat Tata Usaha Negara memberitahukan kepada pihak ke-III kepentingan pihak ke-III kurang dilindungi, oleh karena itu dengan tidak adanya pembatasan maka hakim dapat memperoleh lebih banyak informasi untuk memperoleh kebenaran materiil.


2. Begitu juga pada ketentuan kapan Hakim dapat mengadakan Putusan sela. Apakah perlu diberikan tanggapan oleh pihak-pihak atas permohonan yang diajukan oleh pihak ke-III atau pihak Penggugat atau Tergugat sendiri, maka MA RI telah memberikan pedomannya dalam Surat MA RI No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 pada angka 4.

Intervensi:


a. Sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya yang bermaksud untuk menarik pihak ke-III atas inisiatif Hakim yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberikan penjelasan-penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang diperiksa.


b. Pihak ketiga (III) yang bukan badan atau Pejabat TUN) yang bergabung engan pihak Tergugat asal seyogyanya berkedudukan sebagai saksi yang menyokong tergugat, karena ia mempunyai kepentingan yang parallel denganTergugat asal dan ia tidak dapat berkedudukan sebagai pihak tergugat sesuai ketentuan pasal 1 angka 6 UU No.5 tahun 1986.


c. Pihak ketiga yang membela haknya sendiri hraus mengajukan gugatan intervensi dan berkedudukan sebagai Penggugat Intervensi


d. Sebelum Majelis menolak atau mengabulkan permohonan gugatan Intervensi sebaiknya didengar juga tanggapan Penggugat dan Tergugat asal apakah benar pihak ke-III yang mengjukan permohonan Intervensi tersebut mempunyai kepentingan


Ditolak atau dikabulkan permohonan Intervensi tersebut harus dituangkan dalam putusan sela yang dicantumkan dalam berita acara siding seperti ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No.5 tahun 1986


3. Begitu juga bagaimana tentang sikap Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap adanya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terhadap adanya banding dari pihak ketiga terhadap ditolaknya permohonan masuk sebagai pihak intervensi, oleh MA.RI dalam suratnya No.051/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992, telah diberikan pedoman sebagai berikut:


Pada angka II Intervensi (Pasal 83):

“Dalam hal Intervensi dari pihak ketiga ditolak oleh Pengadilan dan pihak Intervensi mengajukan permohonan banding / kasasi, sedangkan Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung berpendapat bahwa Intervensi tersebut dikabulkan, maka dapat ditempuh 2 cara:


a. Pengadilan Tinggi mengambil putusan sela sebelum memutuskan pokok perkara dengan memerintahkan kepada Pengadilan yang bersangkutan untuk melakukan pemeriksaan hal-hal yang relevan dengan perkara (intervensi) tersebut. Setelah hasil pemeriksaan tersebut diterima oleh Pengadilan Tinggi, baru diambil putusan akhir mengenai pokok perkara oleh Pengadilan Tinggi.

b. Pengadilan Tinggi dapat melakukan pemeriksaan sendiri dan mengambil putusan akhir pokok perkara


4. Manfaat Intervensi

a. Pihak ke-III yang masuk dalam proses tidak tunduk pada pasal 55


b. Bagi Majelis Hakim, masuknya pihak ke-III memudahkan untuk mencari kebenaran materiil


c. Dari sudut beracara, masuknya pihak ke-III untuk menghindari banyaknya jumlah perkara yang sama


d. Dimungkinkannya intervensi pihak ke-III untuk menghindari kemungkinan terjadi putusan yang berbeda satu sama lain seandainya perkara dipisah


e. Proses intervensi terhadap perkara yang sedang berjalan untuk menghindari terjadinya gugatan perlawanan pihak ke-III sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Undang-undang No.5 tahun 1986


Jumat, 16 Januari 2009

Mining Company Shall Pay for Royalty Charge in Amount of 10% of Its Net Profit (According to the New Mining Law)

The biggest income of Indonesia’s State is come from tax. Business activity like investment has gives big income for the state. One of the biggest incomes for the state is come from the mining business. In this case, the Mining Permit holders or Special Mining Permit holders must pay state income and regional income. In the draft of the new Mining Law, this provision is explicitly stated in Article 128 (1).

State income as mentioned above is include tax revenue and non-tax state revenues Tax revenue is every tax which shall be paid to the government in accordance to the prevailing tax regulations. According to the Article 128 (3) of the draft of New Mining Law, tax revenue shall include:

a. taxes within the authority of the Government under the provisions of laws and regulations in the field of taxation; and

b. customs and excise duties.

Then, non-tax state revenue non-tax state revenues according to the Article 128 (4) of the draft of New Mining Law shall include:

a. dead rents;

b. exploration royalties;

c. production royalties; and

d. compensation for data/information.

Regional income according to the Article 128 (5) of the draft of New Mining Law shall include:

a. regional taxes;

b. regional charges; and

c. other lawful income under provisions of laws and regulations.

The total amount which shall be paid by the mining company to the Government is in amount of 10% of its net profit. Article 129 (1) stated that metal mineral and coal Production Operation Special Mining Permit holders must pay 4% (four percent) to the Government and 6% (six percent) to the regional government, of net profits since commencing production. Furthermore, the regional government allotment will be divided again to be given as follows (Article 129 (2)):

a. the provincial government shall receive a portion of 1% (one percent);

b. the producing district/city government shall receive a portion of 2.5% (two point five percent); and

c. other district/city government within the same province shall receive a portion of 2.5% (two point five percent).

10% of net profits are a quite big amount. Moreover, as stated on the hukumonline.com, this provision has become controversy among the public, particularly the mining company since Article 129 is appear suddenly at the end of the discussion of the Mining Law and the said article also not an initiative from the government.

Against this matter, Listi Witanni, a legal staff from ANTAM said that they feel like to have pay for two times. Considered to be a big burden, ANTAM as one of mining company is still trying to clarify this matter to the General Directorate of Mineral, Coal and Geothermal of Energy and Mineral Department (known as “Dirjen Minerba DESDM”).


Too Many Cost

Formerly, in all this time, royalty charge is categorized as non-tax state revenues. This provision is provided in the Government Regulation No. 45 Year 2003 concerning on the Category of Non-Tax State Revenue in Department of Energy and Mineral. The said Government Regulation also provided provisions on dead rents amount for the Mining Right (known as “Kuasa Pertambangan”), Contract of Work (known as “Kontrak Karya”) and Coal Contract of Work (known as “Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara”). According to the said Government Regulation, the amount of production contribution tariff for Mining Right and Contract of Work and Royalty is calculated by tariff time graving material selling price.

The Coal Production Outcome Fund itself (known as “Dana Hasil Produksi Batubara”) is provided in the President Decree No. 75 Year 1996 concerning on the Coal Contract of Work Provision (“PKP2B”). As stated in Article 3 (1) of the President Decree No. 75 Year 1996, Private Contractor Company shall pay 13,50% of their coal production outcome to the Government by cash upon the Free on Board price or at sale point.

The said amount which comes from the Coal Production Outcome Fund is the Government’s allotment in order to coal development defrayal, coal resource investment, environment management supervising cost and work safety on mining, exploration tariff payment, exploitation tariff and also for value added tax.

Senin, 08 Desember 2008

Kontroversi Putusan Peradi yang mencaumkan Irah-Irah

Buntut dari Perpecahan Advokat yang menghasilkan perpecahan Advokat menjadi dua kubu besar, Peradi vs KAI, belum lama ini kembali menuai kontroversi. Putusan Nomor 01//MK-DK KAI/XII/2008 atas nama Todung Mulya Lubis yang menghukum Bang Todung dengan sanksi pemecatan, oleh KAI dinyatakan batal dan cacat hukum karena telah mencantumkan Irah-Irah.

Untuk lebih lengkapnya, saya sengaja memberikan kutipan hukumonline.com terkait kontroversi tersebut.


Kutipan Berita:
Putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta Dinilai Cacat Hukum
[4/12/08]

Dewan Kehormatan Peradi Jakarta mencantumkan irah-irah layaknya putusan pengadilan. Meski diwarnai dissenting opinion, Todung tetap dinyatakan bersalah. Sanksi pemberhentian sementara selama 1 bulan 15 hari dijatuhkan.


Mengambil tempat di sebuah hotel di Jakarta Selatan, Majelis Kehormatan Kongres Advokat Indonesia (KAI) menggelar sidang pada Rabu (3/12). Dari yang seharusnya berjumlah sembilan orang, hanya ada tujuh orang majelis kehormatan yang memimpin persidangan.


Beranjak siang hari, majelis yang diketuai Kamal Firdaus mengetuk palu pertanda membuka sidang. “Sidang putusan perkara dengan Nomor 01//MK-DK KAI/XII/2008 atas nama Todung Mulya Lubis dengan ini dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” kata Kamal.


Seperti diketahui, pada Mei 2008 lalu, Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Todung. Pemecatan itu adalah ujung dari aduan Hotman Paris Hutapea dan Marx Andryan atas dugaan pelanggaran kode etik oleh Todung.


Todung tidak berdiam diri atas pemecatan itu. Ia mengajukan banding. Tapi bukan ke Dewan Kehormatan Pusat Peradi, melainkan ke Dewan Kehormatan KAI. Setelah hampir sebulan bermusyawarah, majelis Dewan Kehormatan KAI akhirnya menjatuhkan putusan.


Dalam putusannya, majelis menyatakan putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta batal demi hukum. Namun begitu, majelis tetap menyatakan Todung bersalah melanggar kode etik KAI. Ia pun dijatuhi hukuman pemberhentian untuk sementara waktu selama satu setengah bulan.


Pendapat majelis yang menyatakan putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta batal demi hukum bukannya tanpa alasan. Salah satunya adalah Dewan Kehormatan Peradi Jakarta dinilai sengaja dan tanpa hak menggunakan irah-irah atau kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Bagi majelis, penggunaan irah-irah adalah hal yang ‘tabu’. Kalimat itu hanya bisa digunakan oleh badan peradilan yang berada di bawah kekuasaan kehakiman, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu ada pengecualian bagi arbitrase, sertifikat hak tanggungan, jaminan fidusia dan peradilan pajak untuk bisa menggunakan irah-irah.


Saking sakralnya, majelis menunjukkan beberapa putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibatalkan Mahkamah Agung lantaran memakai irah-irah dalam putusannya.


Majelis tak mau mengulangi kesalahan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta. Di dalam putusannya, majelis tetap memakai kepala putusan tapi dengan bunyi berbeda, yaitu “Demi Keadilan untuk Menjaga Martabat dan Kehormatan Profesi Advokat Indonesia”.


Harus Diatur Undang-undang

Dihubungi terpisah, Jack R. Sidabutar, Ketua Dewan Kehormatan Peradi Jakarta memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, majelis kehormatan bisa saja mencantumkan irah-irah. Ia mengibaratkan peradilan kode etik tak jauh berbeda dengan peradilan di lingkungan pengadilan. “Majelis kode etik juga disumpah, sama seperti hakim.”


Penggunaan irah-irah dalam putusan Dewan Kehormatan, sambung Jack, memiliki dasar hukum. “Ada di UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” kata dia. Meski begitu, ia enggan merinci ada di pasal mana ketentuan irah-irah itu.


Kamal Firdaus membantah pendapat Jack. Ia menyatakan tak ada satu pun ketentuan dalam UU Advokat, kode etik, AD/ART KAI maupun Peradi yang membolehkan irah-irah dalam putusan.


Djoko Sarwoko, Juru Bicara Mahkamah Agung berpendapat irah-irah digunakan dalam putusan hakim. “Itu ada dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman,” kata Djoko lewat telepon. Meski begitu, ia mengakui irah-irah bukan monopoli hakim semata. Sertifikat hipotik atau hak tanggungan juga boleh memakai irah-irah. “Sepanjang undang-undang membenarkannya.”


Tetap Bersalah

Mengenai pokok perkara, majelis tetap menyatakan Todung bersalah karena terbukti konflik kepentingan. “Pada saat mewakili kepentingan Menteri Keuangan, Pembanding (Todung, red) menyimpulkan bahwa Salim Group melanggar MSAA dan karenanya menimbulkan kerugian negara. Namun saat mewakili Salim Group dalam menghadapi gugatan dari Sugar Group berpendapat sebaliknya,” kata majelis.


Bagi majelis, sikap Todung terhadap Salim group adalah sikap yang tidak konsisten. “Ini bertentangan dengan Pasal 2 Kode Etik KAI bahwa advokat harus bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia.”


Lebih jauh, majelis juga mempertimbangkan fakta bahwa Todung pernah dijatuhi sanksi ‘peringatan keras’ oleh IKADIN. “Sehingga pembanding patut dijatuhi hukuman pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.”


Putusan majelis dalam perkara ini diwarnai dissenting opinion. Empat anggota –termasuk salah satunya ketua majelis- tidak sependapat dalam menilai kesalahan Todung. Menurut mereka, Todung tidak terbukti konflik kepentingan ketika mewakili Salim Group.


Todung sendiri mengaku kecewa atas putusan ini. “Putusan yang berat atas pelanggaran yang tak pernah saya lakukan,” jelas Todung kepada wartawan di kantornya. Namun, akhirnya ia menerima putusan. “Karena saya yang mengajukan banding, maka saya terima putusan ini.”


Marx Andryan, -advokat yang mengadukan Todung ke Dewan Kehormatan Peradi Jakarta- tak bisa berkomentar banyak. “Biarkan masyarakat yang menilai. Apakah dapat dibenarkan seorang warga negara Indonesia yang dihukum oleh Mahkamah Agung di Indonesia, kemudian mengajukan Peninjauan Kembali di MA-nya Amerika Serikat?”

(IHW/Ali)

Pre Order HTC DESIRE, HTC WILDFIRE, IPAD, dan IPOD

YANG MAU IPAD GRATIS - JOIN DI SITTI