A. Pengantar
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.
B. Peraturan Terkait
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN);
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.35/1999 dan kemudian dirubah lagi oleh UU No.4 / 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA);
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.8/2004 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum);
A. Kajian Hukum
1. LEGAL STANDING PARA PIHAK
Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menyatakan bahwa:
”Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa para pihak yang bersengketa adalah antara orang perorangan atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang menjadi obyek sengketa.
Selain itu, berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, alasan - alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang menjadi obyek sengketa adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dengan demikian, agar setiap pihak yang merasa kepentingannya dirugikan dapat memiliki hak untuk menggugat (Legal Standing), maka harus memenuhi unsur – unsur sebagai berikut:
1. Orang atau badan hukum perdata
2. Kepentingannya dirugikan
3. Karena dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
4. Bertujuan untuk menyatakan batal atau tidak sahnya Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan kerugian tersebut.
2. OBYEK TATA USAHA NEGARA
Pasal 53 UU PTUN menyatakan bahwa yang menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sementara Pasal 1 ayat 3 UU PTUN menyatakan KTUN merupakan penetapan tertulis dari Pejabat Pemerintah yang menyangkut hal atau obyek tertentu, dengan subjek keputusan yang jelas dan bukan ditujukan untuk umum, serta sudah dapat menimbulkan akibat hukum. Surat keputusan, surat biasa, memo dan surat sakti atau referensi, yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut dapat digugat dalam PTUN. Namun demikian, dalam UU 9/2004 diperjelas kembali jenis-jenis KTUN yang tidak dapat di gugat dalam PTUN yakni:
1. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata misalkan masalah jual beli antara instansi pemerintah dengan perseorangan atau badan hukum yang didasarkan hukum perdata.
2. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum misalkan peraturan hukum berisi norma-norma yang mengikat semua orang.
3. KTUN yang masih memerlukan persetujuan misalkan keputusan yang masih harus disetujui oleh instansi lain.
4. KTUN berdasarkan ketentuan KUHP.
5. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indoensia
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun daerah mengenai hasil pemilihan umum.
3. PROSEDUR dan TAHAPAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
I. Melalui Upaya Administrasi:
1. Definisi
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
2. Dasar Hukum
Di dalam UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 diatur dalam Pasal 48, yang berbunyi:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
3. Bentuk Upaya Administrasi serta cara penilaian:
Berdasarkan penjelasan Pasal 48 UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, disebutkan adanya dua bentuk upaya administrasi, yaitu:
(1) Banding administratif
Jika seseorang atau badan hukum perdata tidak puas dengan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat melakukan upaya administrasi. Prosedur upaya administrasi tersebut harus dilaksanakan di dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam hal penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan ”Banding Administrasi”.
Contoh banding administratif antara lain:
- Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan "Regeling van het beroep in belastings zaken", Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
- Keputusan Panitia Penyelesaian perselisihan Perburuhan Pusat Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Keputusan Gubemur berdasarkan pasal10 Ayat (2) Undang-undang Gangguan Staatsblad 1926 No. 226.
(2) Keberatan
Adalah suatu prosedur penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan tersebut.
Contoh:
- Pasal 27 UU No.9/1994 tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Perpajakan.
Prosedurnya dilakukan dengan penilaian secara lengkap oleh instansi yang mengurus, Lengkap di sini berarti dinilai dari segi hukum dan dari kebijaksanaan, sedangkan penilaian di Pengadilan hanya dari segi hukum saja.
i. Cara Untuk Membedakan Suatu Sengketa Harus Diselesaikan Melalui Banding Administratif atau Keberatan
Untuk dapat membedakannya, maka dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelesaikannya. Atas hal ini terbagi atas dua kemungkinan, yaitu:
1. Banding Administratif, apabila diselesaikan oleh instansi atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut atau instansi yang lainnya dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.
2. Keberatan, apabila diselesaikan oleh instansi atau pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
ii. Upaya Hukum Atas Upaya Hukum Administrasi dan Keberatan
Pada Penjelasan Pasal 48 Ayat (2) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, dinyatakan bahwa:
“Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan”.
Upaya yang dapat ditempuh tersebut antara lain:
a. Setelah upaya Banding administratif, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan Tingkat I/pertama (Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
b. Setelah melalui upaya Keberatan, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
iii. Sisi Positif dan Negatif Atas Lembaga Upaya Administratif'
- Sisi positif lembaga upaya administratif adalah:
Menilai lengkap suatu keputusan, baik dari aspek legalitas (rechtmatigheid) maupun aspek opportunitas (doelmatigheid), sehingga para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah seperti halnya di Pengadilan, tapi dengan pendekatan musyawarah.
- Sisi negatif lembaga upaya administratif adalah:
Permasalahan dapat saja terjadi pada tingkat obyektivitas penilaian. Hal ini karena badan Tata Usaha Negara yang menerbitkan surat Keputusan bisa saja terkait kepada kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung kepada Keputusan yang dikeluarkannya tersebut.
Bergesernya kedudukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjadi instansi pertama terhadap sengketa yang menempuh banding administratif, dapat mengakibatkan:
- Pencari keadilan akan kehilangan satu tingkatan atau kesempatan memperoleh saluran Peradilan Administrasi;
- Ada kemungkinan sebagian besar sengketa administrasi akan lebih banyak mengalir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
iv. Skema Proses Penyelesaian Upaya Administrasi
4.
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
· Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
· Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
HAK PENGGUGAT:
1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. (pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)
KEWAJIBAN PENGGUGAT:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)
HAK TERGUGAT:
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)
KEWAJIBAN TERGUGAT:
1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1)
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)
4. PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN
UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan Perkara Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang akan mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pokok-pokok yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
1. Tempat Mengajukan Gugatan
Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya, kemudian didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 54.
Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat
Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat
Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.
2. Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara
Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan apakah secara formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 UU No.5 tahun 1986, apabila ada kekuranglengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat menyarankan kepada Penggugat atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30 hari baik terhadap Gugatan yang sudah lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir biaya panjer ongkos perkara yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain:
- Biaya Kepaniteraan
- Biaya Materai
- Biaya Saksi
- Biaya Saksi Ahli
- Biaya Alih Bahasa
- Biaya Pemeriksaan Setempat
- Biaya lain untuk Penebusan Perkara
Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Sub bagian Kepaniteraan Muda Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut.
Atas dasar SKUM tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir (dibagian Kepaniteraan Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan, kwitansi pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian didaftarkan didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.
Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian dilengkapi dengan formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan kembali kepada Panitera dengan buku ekspedisi penyerahan berkas.
Selanjutnya berkas perkara gugatan tersebut oleh Panitera diteruskan / diserahkan kepada Ketua Pengadilan untuk dilakukan Penelitian terhadap Gugatan tersebut, yaitu dalam proses dismissal ataupun apakah ada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, beracara cepat maupun ber-acara Cuma-Cuma.
5. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN
Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus melalui beberapa tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan yang terbuka untuk umum. Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada 3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat dari tahap-tahap materi gugatan yang diperiksa ada 4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:
Tahap I
Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang ditugaskan oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut
Tahap II
Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua memeriksa gugatan tersebut antara lain:
a. Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal. Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan Ketua dapat mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat dismissal, makaperkara tersebut dapat diperiksa dengan acara biasa dan dapat pula ditunjuk Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat mengeluarkan penetapan.
c. Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma dan mengeluarkan Penetapan
d. Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada permohonan untuk diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.
e. Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa dengan acara biasa dan sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.
Tahap III
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.
Tahap IV
Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis menetapkan untuk Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan.yang terbuka untuk umum.
6. PENCABUTAN GUGATAN DI PTUN
Terhadap gugatan yang sudah didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan sudah membayar serta mendapatkan nomor register masih dapat dicabut kembali oleh Penggugat atau kuasanya.
Ketentuan yang mengatur tentang pencabutan gugatan tersebut adalah pasal 76 UU PTUN, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1)
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban
Ayat (2)
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu pencabutan oleh akan dikabulkan oleh Pengadilan hanya apabila disetujui Tergugat.
Disamping ketentuan diatas, ternyata dalam praktek dapat terjadi yaitu ”Pencabutan Gugatan” disebabkan karena antara pihak-pihak telah terjadi ”perdamaian diluar sidang”. Terkait dengan dikabulkannya permohonan pencabutan gugatan, meskipun tidak diatur secara jelas oleh Pasal 76 UU PTUN, namun dalam prakteknya telah ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Permohonan pencabutan gugatan tersebut agar dibuat secara tertulis ditujukan kepada Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
2. Untuk adanya kepastian hukum maka dikabulkannya permohonan pencabutan gugatan tersebut dibuat dalam bentuk Penetapan
3. Dalam hal gugatan tersebut telah dikeluarkan Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara maupun oleh Majelis Hakim, maka mengabulkan permohonan pencabutan gugatan tersebut dibuat Penetapan
4. Penetapan yang berisi mengabulkan permohonan pencabutan gugatan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dibuat berita acara.
7. INTERVENSI DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Intervensi didalam Undang-undang No.5 tahun 1986 jo Undang-undang No.9 tahun 2004 diatur didalam Pasal 83, yaitu sebagai berikut:
Ayat (1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
a. Pihak yang membela sengketa haknya atau
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Ayat (2). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara siding.
Ayat (3). Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Bunyi penjelasan pasal 83 Undang-undang No.5 tahun 1986 adalah sebagai berikut:
Ayat (1-2). Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata yang berada diluar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:
1. Pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan.
Untuk itu ia harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya.
Putusan sela pengadilan atas permohonan tersebut dimasukkan dalam berita acara siding. Apabila permohonan itu dikabulkan, ia dipihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut sebagai Penggugat Intervensi.
Apabila permohonan itu tidak dikabulkan, maka terhadap Putusan Sela Pengadilan itu tidak dapat dimohonkan banding.
Sudah barang tentu pihak ketiga tersebut masih dapat mengajukan gugatan baru diluar proses yang sedang berjalan asalkan ia dapat menunjukan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan gugatan itu dan gugatannya memenuhi syarat.
2. Ada kalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan itu karena permintaan salah satu pihak (Penggugat atau Tergugat). Disini pihak yang memohon agar pihak ke-III selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya.
3. Masuknya pihak ke-III ke dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu.
Ayat (3) cukup jelas
Dari ketentuan diatas didalam prakteknya ternyata terdapat hal-hal yang tidak jelas antara lain:
1. Pada ketentuan pasal 83 ayat (1) yaitu kata-kata “selama pemeriksaan berlangsung” kapan yang dimaksud dengan selama pemeriksaan berlangsung tersebut.
“Selama Pemeriksaan Berlangsung” Undang-undang tidak menjelaskan, sementara itu dalam proses berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal beragam pemeriksaan sehubungan dengan istilah tersebut lalu kapan pihak ke-III dapat masuk dalam perkara ?
Menurut Indroharto “Selama Pemeriksaan Berlangsung” adalah selama pemeriksaan persiapan, alasannya kalau sudah masuk pemeriksaan perkara, dengan masuknya intervensi (khususnya tussenkomst), maka pemeriksaan akan mundur kembali.
Jadi setelah pemeriksaan persiapan maka sebaiknya permohonan intervensi ditolak.
Berdasarkan SEMA No.222/Td.TUN/X/1994 ditentukan bahwa permohonan Intervensi selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan saksi-saksi, pendapat ini dikemukakan dengan alasan menghindari pemeriksaan persiapan yang diulang kembali.
Namun demikian dalam praktek ada pendapat bahwa kalau mengurangi maksud pasal 83, maka sebaiknya pendapat Indroharto dan SEMA patut dicermati kembali. Karena kemungkinan pihak ke-III tipis sekali mengetahui kepentingannya sampai dengan pemeriksaan persiapan yang tertutup, kecuali Pejabat Tata Usaha Negara memberitahukan kepada pihak ke-III kepentingan pihak ke-III kurang dilindungi, oleh karena itu dengan tidak adanya pembatasan maka hakim dapat memperoleh lebih banyak informasi untuk memperoleh kebenaran materiil.
2. Begitu juga pada ketentuan kapan Hakim dapat mengadakan Putusan sela. Apakah perlu diberikan tanggapan oleh pihak-pihak atas permohonan yang diajukan oleh pihak ke-III atau pihak Penggugat atau Tergugat sendiri, maka MA RI telah memberikan pedomannya dalam Surat MA RI No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 pada angka 4.
Intervensi:
a. Sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya yang bermaksud untuk menarik pihak ke-III atas inisiatif Hakim yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberikan penjelasan-penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang diperiksa.
b. Pihak ketiga (III) yang bukan badan atau Pejabat TUN) yang bergabung engan pihak Tergugat asal seyogyanya berkedudukan sebagai saksi yang menyokong tergugat, karena ia mempunyai kepentingan yang parallel denganTergugat asal dan ia tidak dapat berkedudukan sebagai pihak tergugat sesuai ketentuan pasal 1 angka 6 UU No.5 tahun 1986.
c. Pihak ketiga yang membela haknya sendiri hraus mengajukan gugatan intervensi dan berkedudukan sebagai Penggugat Intervensi
d. Sebelum Majelis menolak atau mengabulkan permohonan gugatan Intervensi sebaiknya didengar juga tanggapan Penggugat dan Tergugat asal apakah benar pihak ke-III yang mengjukan permohonan Intervensi tersebut mempunyai kepentingan
Ditolak atau dikabulkan permohonan Intervensi tersebut harus dituangkan dalam putusan sela yang dicantumkan dalam berita acara siding seperti ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No.5 tahun 1986
3. Begitu juga bagaimana tentang sikap Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap adanya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terhadap adanya banding dari pihak ketiga terhadap ditolaknya permohonan masuk sebagai pihak intervensi, oleh MA.RI dalam suratnya No.051/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992, telah diberikan pedoman sebagai berikut:
Pada angka II Intervensi (Pasal 83):
“Dalam hal Intervensi dari pihak ketiga ditolak oleh Pengadilan dan pihak Intervensi mengajukan permohonan banding / kasasi, sedangkan Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung berpendapat bahwa Intervensi tersebut dikabulkan, maka dapat ditempuh 2 cara:
a. Pengadilan Tinggi mengambil putusan sela sebelum memutuskan pokok perkara dengan memerintahkan kepada Pengadilan yang bersangkutan untuk melakukan pemeriksaan hal-hal yang relevan dengan perkara (intervensi) tersebut. Setelah hasil pemeriksaan tersebut diterima oleh Pengadilan Tinggi, baru diambil putusan akhir mengenai pokok perkara oleh Pengadilan Tinggi.
b. Pengadilan Tinggi dapat melakukan pemeriksaan sendiri dan mengambil putusan akhir pokok perkara
4. Manfaat Intervensi
a. Pihak ke-III yang masuk dalam proses tidak tunduk pada pasal 55
b. Bagi Majelis Hakim, masuknya pihak ke-III memudahkan untuk mencari kebenaran materiil
c. Dari sudut beracara, masuknya pihak ke-III untuk menghindari banyaknya jumlah perkara yang sama
d. Dimungkinkannya intervensi pihak ke-III untuk menghindari kemungkinan terjadi putusan yang berbeda satu sama lain seandainya perkara dipisah
e. Proses intervensi terhadap perkara yang sedang berjalan untuk menghindari terjadinya gugatan perlawanan pihak ke-III sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Undang-undang No.5 tahun 1986
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.
B. Peraturan Terkait
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN);
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.35/1999 dan kemudian dirubah lagi oleh UU No.4 / 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA);
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.8/2004 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum);
A. Kajian Hukum
1. LEGAL STANDING PARA PIHAK
Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menyatakan bahwa:
”Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa para pihak yang bersengketa adalah antara orang perorangan atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang menjadi obyek sengketa.
Selain itu, berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, alasan - alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang menjadi obyek sengketa adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dengan demikian, agar setiap pihak yang merasa kepentingannya dirugikan dapat memiliki hak untuk menggugat (Legal Standing), maka harus memenuhi unsur – unsur sebagai berikut:
1. Orang atau badan hukum perdata
2. Kepentingannya dirugikan
3. Karena dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
4. Bertujuan untuk menyatakan batal atau tidak sahnya Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan kerugian tersebut.
2. OBYEK TATA USAHA NEGARA
Pasal 53 UU PTUN menyatakan bahwa yang menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sementara Pasal 1 ayat 3 UU PTUN menyatakan KTUN merupakan penetapan tertulis dari Pejabat Pemerintah yang menyangkut hal atau obyek tertentu, dengan subjek keputusan yang jelas dan bukan ditujukan untuk umum, serta sudah dapat menimbulkan akibat hukum. Surat keputusan, surat biasa, memo dan surat sakti atau referensi, yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut dapat digugat dalam PTUN. Namun demikian, dalam UU 9/2004 diperjelas kembali jenis-jenis KTUN yang tidak dapat di gugat dalam PTUN yakni:
1. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata misalkan masalah jual beli antara instansi pemerintah dengan perseorangan atau badan hukum yang didasarkan hukum perdata.
2. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum misalkan peraturan hukum berisi norma-norma yang mengikat semua orang.
3. KTUN yang masih memerlukan persetujuan misalkan keputusan yang masih harus disetujui oleh instansi lain.
4. KTUN berdasarkan ketentuan KUHP.
5. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indoensia
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun daerah mengenai hasil pemilihan umum.
3. PROSEDUR dan TAHAPAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
I. Melalui Upaya Administrasi:
1. Definisi
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
2. Dasar Hukum
Di dalam UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 diatur dalam Pasal 48, yang berbunyi:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
3. Bentuk Upaya Administrasi serta cara penilaian:
Berdasarkan penjelasan Pasal 48 UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, disebutkan adanya dua bentuk upaya administrasi, yaitu:
(1) Banding administratif
Jika seseorang atau badan hukum perdata tidak puas dengan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat melakukan upaya administrasi. Prosedur upaya administrasi tersebut harus dilaksanakan di dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam hal penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan ”Banding Administrasi”.
Contoh banding administratif antara lain:
- Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan "Regeling van het beroep in belastings zaken", Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
- Keputusan Panitia Penyelesaian perselisihan Perburuhan Pusat Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Keputusan Gubemur berdasarkan pasal10 Ayat (2) Undang-undang Gangguan Staatsblad 1926 No. 226.
(2) Keberatan
Adalah suatu prosedur penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan tersebut.
Contoh:
- Pasal 27 UU No.9/1994 tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Perpajakan.
Prosedurnya dilakukan dengan penilaian secara lengkap oleh instansi yang mengurus, Lengkap di sini berarti dinilai dari segi hukum dan dari kebijaksanaan, sedangkan penilaian di Pengadilan hanya dari segi hukum saja.
i. Cara Untuk Membedakan Suatu Sengketa Harus Diselesaikan Melalui Banding Administratif atau Keberatan
Untuk dapat membedakannya, maka dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelesaikannya. Atas hal ini terbagi atas dua kemungkinan, yaitu:
1. Banding Administratif, apabila diselesaikan oleh instansi atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut atau instansi yang lainnya dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.
2. Keberatan, apabila diselesaikan oleh instansi atau pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
ii. Upaya Hukum Atas Upaya Hukum Administrasi dan Keberatan
Pada Penjelasan Pasal 48 Ayat (2) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, dinyatakan bahwa:
“Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan”.
Upaya yang dapat ditempuh tersebut antara lain:
a. Setelah upaya Banding administratif, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan Tingkat I/pertama (Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
b. Setelah melalui upaya Keberatan, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
iii. Sisi Positif dan Negatif Atas Lembaga Upaya Administratif'
- Sisi positif lembaga upaya administratif adalah:
Menilai lengkap suatu keputusan, baik dari aspek legalitas (rechtmatigheid) maupun aspek opportunitas (doelmatigheid), sehingga para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah seperti halnya di Pengadilan, tapi dengan pendekatan musyawarah.
- Sisi negatif lembaga upaya administratif adalah:
Permasalahan dapat saja terjadi pada tingkat obyektivitas penilaian. Hal ini karena badan Tata Usaha Negara yang menerbitkan surat Keputusan bisa saja terkait kepada kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung kepada Keputusan yang dikeluarkannya tersebut.
Bergesernya kedudukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjadi instansi pertama terhadap sengketa yang menempuh banding administratif, dapat mengakibatkan:
- Pencari keadilan akan kehilangan satu tingkatan atau kesempatan memperoleh saluran Peradilan Administrasi;
- Ada kemungkinan sebagian besar sengketa administrasi akan lebih banyak mengalir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
iv. Skema Proses Penyelesaian Upaya Administrasi
4.
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
· Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
· Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
HAK PENGGUGAT:
1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. (pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)
KEWAJIBAN PENGGUGAT:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)
HAK TERGUGAT:
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)
KEWAJIBAN TERGUGAT:
1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1)
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)
4. PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN
UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan Perkara Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang akan mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pokok-pokok yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
1. Tempat Mengajukan Gugatan
Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya, kemudian didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 54.
Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat
Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat
Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.
2. Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara
Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan apakah secara formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 UU No.5 tahun 1986, apabila ada kekuranglengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat menyarankan kepada Penggugat atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30 hari baik terhadap Gugatan yang sudah lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir biaya panjer ongkos perkara yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain:
- Biaya Kepaniteraan
- Biaya Materai
- Biaya Saksi
- Biaya Saksi Ahli
- Biaya Alih Bahasa
- Biaya Pemeriksaan Setempat
- Biaya lain untuk Penebusan Perkara
Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Sub bagian Kepaniteraan Muda Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut.
Atas dasar SKUM tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir (dibagian Kepaniteraan Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan, kwitansi pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian didaftarkan didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.
Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian dilengkapi dengan formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan kembali kepada Panitera dengan buku ekspedisi penyerahan berkas.
Selanjutnya berkas perkara gugatan tersebut oleh Panitera diteruskan / diserahkan kepada Ketua Pengadilan untuk dilakukan Penelitian terhadap Gugatan tersebut, yaitu dalam proses dismissal ataupun apakah ada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, beracara cepat maupun ber-acara Cuma-Cuma.
5. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN
Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus melalui beberapa tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan yang terbuka untuk umum. Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada 3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat dari tahap-tahap materi gugatan yang diperiksa ada 4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:
Tahap I
Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang ditugaskan oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut
Tahap II
Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua memeriksa gugatan tersebut antara lain:
a. Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal. Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan Ketua dapat mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat dismissal, makaperkara tersebut dapat diperiksa dengan acara biasa dan dapat pula ditunjuk Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat mengeluarkan penetapan.
c. Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma dan mengeluarkan Penetapan
d. Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada permohonan untuk diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.
e. Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa dengan acara biasa dan sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.
Tahap III
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.
Tahap IV
Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis menetapkan untuk Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan.yang terbuka untuk umum.
6. PENCABUTAN GUGATAN DI PTUN
Terhadap gugatan yang sudah didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan sudah membayar serta mendapatkan nomor register masih dapat dicabut kembali oleh Penggugat atau kuasanya.
Ketentuan yang mengatur tentang pencabutan gugatan tersebut adalah pasal 76 UU PTUN, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1)
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban
Ayat (2)
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu pencabutan oleh akan dikabulkan oleh Pengadilan hanya apabila disetujui Tergugat.
Disamping ketentuan diatas, ternyata dalam praktek dapat terjadi yaitu ”Pencabutan Gugatan” disebabkan karena antara pihak-pihak telah terjadi ”perdamaian diluar sidang”. Terkait dengan dikabulkannya permohonan pencabutan gugatan, meskipun tidak diatur secara jelas oleh Pasal 76 UU PTUN, namun dalam prakteknya telah ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Permohonan pencabutan gugatan tersebut agar dibuat secara tertulis ditujukan kepada Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
2. Untuk adanya kepastian hukum maka dikabulkannya permohonan pencabutan gugatan tersebut dibuat dalam bentuk Penetapan
3. Dalam hal gugatan tersebut telah dikeluarkan Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara maupun oleh Majelis Hakim, maka mengabulkan permohonan pencabutan gugatan tersebut dibuat Penetapan
4. Penetapan yang berisi mengabulkan permohonan pencabutan gugatan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dibuat berita acara.
7. INTERVENSI DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Intervensi didalam Undang-undang No.5 tahun 1986 jo Undang-undang No.9 tahun 2004 diatur didalam Pasal 83, yaitu sebagai berikut:
Ayat (1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
a. Pihak yang membela sengketa haknya atau
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Ayat (2). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara siding.
Ayat (3). Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Bunyi penjelasan pasal 83 Undang-undang No.5 tahun 1986 adalah sebagai berikut:
Ayat (1-2). Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata yang berada diluar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:
1. Pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan.
Untuk itu ia harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya.
Putusan sela pengadilan atas permohonan tersebut dimasukkan dalam berita acara siding. Apabila permohonan itu dikabulkan, ia dipihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut sebagai Penggugat Intervensi.
Apabila permohonan itu tidak dikabulkan, maka terhadap Putusan Sela Pengadilan itu tidak dapat dimohonkan banding.
Sudah barang tentu pihak ketiga tersebut masih dapat mengajukan gugatan baru diluar proses yang sedang berjalan asalkan ia dapat menunjukan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan gugatan itu dan gugatannya memenuhi syarat.
2. Ada kalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan itu karena permintaan salah satu pihak (Penggugat atau Tergugat). Disini pihak yang memohon agar pihak ke-III selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya.
3. Masuknya pihak ke-III ke dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu.
Ayat (3) cukup jelas
Dari ketentuan diatas didalam prakteknya ternyata terdapat hal-hal yang tidak jelas antara lain:
1. Pada ketentuan pasal 83 ayat (1) yaitu kata-kata “selama pemeriksaan berlangsung” kapan yang dimaksud dengan selama pemeriksaan berlangsung tersebut.
“Selama Pemeriksaan Berlangsung” Undang-undang tidak menjelaskan, sementara itu dalam proses berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal beragam pemeriksaan sehubungan dengan istilah tersebut lalu kapan pihak ke-III dapat masuk dalam perkara ?
Menurut Indroharto “Selama Pemeriksaan Berlangsung” adalah selama pemeriksaan persiapan, alasannya kalau sudah masuk pemeriksaan perkara, dengan masuknya intervensi (khususnya tussenkomst), maka pemeriksaan akan mundur kembali.
Jadi setelah pemeriksaan persiapan maka sebaiknya permohonan intervensi ditolak.
Berdasarkan SEMA No.222/Td.TUN/X/1994 ditentukan bahwa permohonan Intervensi selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan saksi-saksi, pendapat ini dikemukakan dengan alasan menghindari pemeriksaan persiapan yang diulang kembali.
Namun demikian dalam praktek ada pendapat bahwa kalau mengurangi maksud pasal 83, maka sebaiknya pendapat Indroharto dan SEMA patut dicermati kembali. Karena kemungkinan pihak ke-III tipis sekali mengetahui kepentingannya sampai dengan pemeriksaan persiapan yang tertutup, kecuali Pejabat Tata Usaha Negara memberitahukan kepada pihak ke-III kepentingan pihak ke-III kurang dilindungi, oleh karena itu dengan tidak adanya pembatasan maka hakim dapat memperoleh lebih banyak informasi untuk memperoleh kebenaran materiil.
2. Begitu juga pada ketentuan kapan Hakim dapat mengadakan Putusan sela. Apakah perlu diberikan tanggapan oleh pihak-pihak atas permohonan yang diajukan oleh pihak ke-III atau pihak Penggugat atau Tergugat sendiri, maka MA RI telah memberikan pedomannya dalam Surat MA RI No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 pada angka 4.
Intervensi:
a. Sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya yang bermaksud untuk menarik pihak ke-III atas inisiatif Hakim yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberikan penjelasan-penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang diperiksa.
b. Pihak ketiga (III) yang bukan badan atau Pejabat TUN) yang bergabung engan pihak Tergugat asal seyogyanya berkedudukan sebagai saksi yang menyokong tergugat, karena ia mempunyai kepentingan yang parallel denganTergugat asal dan ia tidak dapat berkedudukan sebagai pihak tergugat sesuai ketentuan pasal 1 angka 6 UU No.5 tahun 1986.
c. Pihak ketiga yang membela haknya sendiri hraus mengajukan gugatan intervensi dan berkedudukan sebagai Penggugat Intervensi
d. Sebelum Majelis menolak atau mengabulkan permohonan gugatan Intervensi sebaiknya didengar juga tanggapan Penggugat dan Tergugat asal apakah benar pihak ke-III yang mengjukan permohonan Intervensi tersebut mempunyai kepentingan
Ditolak atau dikabulkan permohonan Intervensi tersebut harus dituangkan dalam putusan sela yang dicantumkan dalam berita acara siding seperti ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No.5 tahun 1986
3. Begitu juga bagaimana tentang sikap Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap adanya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terhadap adanya banding dari pihak ketiga terhadap ditolaknya permohonan masuk sebagai pihak intervensi, oleh MA.RI dalam suratnya No.051/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992, telah diberikan pedoman sebagai berikut:
Pada angka II Intervensi (Pasal 83):
“Dalam hal Intervensi dari pihak ketiga ditolak oleh Pengadilan dan pihak Intervensi mengajukan permohonan banding / kasasi, sedangkan Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung berpendapat bahwa Intervensi tersebut dikabulkan, maka dapat ditempuh 2 cara:
a. Pengadilan Tinggi mengambil putusan sela sebelum memutuskan pokok perkara dengan memerintahkan kepada Pengadilan yang bersangkutan untuk melakukan pemeriksaan hal-hal yang relevan dengan perkara (intervensi) tersebut. Setelah hasil pemeriksaan tersebut diterima oleh Pengadilan Tinggi, baru diambil putusan akhir mengenai pokok perkara oleh Pengadilan Tinggi.
b. Pengadilan Tinggi dapat melakukan pemeriksaan sendiri dan mengambil putusan akhir pokok perkara
4. Manfaat Intervensi
a. Pihak ke-III yang masuk dalam proses tidak tunduk pada pasal 55
b. Bagi Majelis Hakim, masuknya pihak ke-III memudahkan untuk mencari kebenaran materiil
c. Dari sudut beracara, masuknya pihak ke-III untuk menghindari banyaknya jumlah perkara yang sama
d. Dimungkinkannya intervensi pihak ke-III untuk menghindari kemungkinan terjadi putusan yang berbeda satu sama lain seandainya perkara dipisah
e. Proses intervensi terhadap perkara yang sedang berjalan untuk menghindari terjadinya gugatan perlawanan pihak ke-III sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Undang-undang No.5 tahun 1986
3 komentar:
sori mo nanya nih...
apa sertifikat tanah merupakan KTUN ? apa alasannya ?
bila merupakan suatu KTUN, terus bila tanah bersertifikat itu ternyata diakui orang lain / menjadi tanah sengketa, maka harus menggugat kemana orang lain itu agar bisa merebut tanah itu ? dan membatalkan sertifikatnya ?
Peradilan Umum atau PTUN ?
sori mo nanya nih...
apa sertifikat tanah merupakan KTUN ? apa alasannya ?
bila merupakan suatu KTUN, terus bila tanah bersertifikat itu ternyata diakui orang lain / menjadi tanah sengketa, maka harus menggugat kemana orang lain itu agar bisa merebut tanah itu ? dan membatalkan sertifikatnya ?
Peradilan Umum atau PTUN ?
sori mo nanya nih...
apa sertifikat tanah merupakan KTUN ? apa alasannya ?
bila merupakan suatu KTUN, terus bila tanah bersertifikat itu ternyata diakui orang lain / menjadi tanah sengketa, maka harus menggugat kemana orang lain itu agar bisa merebut tanah itu ? dan membatalkan sertifikatnya ?
Peradilan Umum atau PTUN ?
Terima kasih
Posting Komentar